Petisi Sutarjo dan GAPI
Nama Kelompok:
Ø Muhammad Rafi Ananda
Ø Nadya Fadhillah
Ø Qisthi Annisa M.B
Kelas : XI IPS 4
Mata Pelajaran : Sejarah Peminatan
Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) 1 Bogor
Jl. Kayumanis No. 30 Cirimekar Kode Pos 16917
Cibinong, Kab. Bogor
Kata pengantar
Assalamualaikum wr.wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya
untuk masyarakat.
Paper yang berjudul “Petisi Sutarjo dan GAPI” ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
paper ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan paper ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya
bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga paper ini memberikan
manfaat bagi Kami maupun bagi para pembaca. Kurang lebihnya mohon maaf.
Wassalamualaikum
wr.wb.
Penyusun
Cibinong,
Maret 2017
PEMBAHASAN
- PETISI SUTARJO
·
PENGERTIAN PETISI SUTARJO
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada
pemerintah, yang di maksudkan disini adalah Presiden, Raja atau Ratu dan
sebagainya. Sebagai contoh dari sebuah petisi adalah mahasiswa mengajukan
petisi menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari jabatannya. (www.KamusBahasaIndonesia.org)
Petisi
Sutardjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo.
Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten
Generaal (parlemen) Belanda.(Suhartono, Artono, Wartoyo : 2010 : 127)
Soetardjo
Kartohadikoesoemo adalah putra seorang Assistant-Wedono di onder-distrik
Kunduran, Ngawi, yaitu Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas
Ajoe Kartoredjo, adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten. Keluarga
Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi
pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri. Walaupun
berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil
Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di
kemudian hari untuk menulis buku tentang desa. (Saminta Somya : Biografi
Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka). Di akhir masa sekolahnya,
Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah ( kleinambtenaarsexamen
) pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan
melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan
organisasi pergerakan. Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun
telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan
sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat
itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati
Karanganyar. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014
: Merdeka).
Tidak
sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu
juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Residen Rembang. Dua bulan
kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta
lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki
jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono.
Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan
pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta
berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Walaupun dibesarkan
dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang
feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang
Belanda. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 :
Merdeka).
Saat
menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara
konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan
duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada
konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan
putih dan duduk di atas kursi. Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan
pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora.
Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo
menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak. (Saminta Somya :
Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka).
Karena
kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PBB, ia
ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota
Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan
para mahasiswa Bestuur academi. Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya
tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal
menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo Bank melalui kongres
PPBB. Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan
Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan
dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling
Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas. (Saminta Somya : Biografi
Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Selama
menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di
awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat
strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk
memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat
desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di
Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat
dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan
tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3.
Mosi
berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi
Indonesia
4.
Mosi
membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang
lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5.
Mosi
berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan
sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool), menyelenggarakan wajib
belajar setempat (locale leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk
melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga berperan
aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa
Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen,
pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan
Petisi Soetardjo. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret
2014 : Merdeka)
Setelah penjajahan Belanda berakhir
dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman
pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen
Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu). Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo
menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian
diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut
Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman
Singodimedjo. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret
2014 : Merdeka)
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945,
selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet.
Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1
Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi.Sekalipun
ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan
di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24
Maret 2014 : Merdeka)
Gabungan Politik Indonesia disingkat
GAPI, merupakan federasi perkumpulan politik Indonesia untuk menyatukan seluruh
kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif
Parindra untuk melahirkan sebuah Nationale Concentratie dalam rapat
pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran dasarnya, GAPI secara umum
menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut campur dalam partai
anggotanya.(Ensiklopedia:2011).
Kepengurusan federasi dijalankan
oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris umum, sekretaris
pembantu dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki oleh
Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, Amir Sjarifudin dari
Gerindo sebagai sekretaris pembantu, dan Ahmad Husni Thamrin dari Parindra
sebagai bendahara. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia Raya),
Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Partai Islam Indonesia, PPKI (Persatuan
Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia), Persatuan
Minahasa dan Pasundan. Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib
sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi,
sosial serta kesatuan aksi. Sedangkan tujuannya mengadakan kerjasama dan
mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres
rakyat Indonesia.(Ensiklopedia:2011).
·
LATAR BELAKANG PETISI SUTARJO DAN ISI PETISI SUTARJO
Langkah-langkah
baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan
situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif jelas tidak mendapat jalan, sedang
gerakan koperatif pun harus dibawah persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan
Kerajaan Belanda. Karena itu rupanya masih ada jalan untuk meneruskan
perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai politik masih ada kesempatan untuk
melakukan aksi bersama sehingga muncullah dengan apa yang disebutkan Petisi
Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Sutarjo
mengajukan usul kepada pemerintah Hindia-Belanda agar diadakan konferensi
Kerajaan Belanda yang membahas status politik yang berupa otonomi meskipun
masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini
dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan
negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik,
ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan koperatif
melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat. (Suhartono, Artono,
Wartoyo:2010:127).
Landasan
usul adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa
kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan
Curacao, yang menurut pendapat Sutardjo keempat wilayah itu didalam kerajaan
Nederland mempunyai derajat sama. Usul tersebut didukung oleh Ratu Langie,
Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko Kwat Tiong. Dukungan ini menurut
Sutardjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh berbagai
golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia. (Suhartono, Artono,
Wartoyo:2010:127).
Adapun isi
petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara
wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak
yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah
pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas
pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan
secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan
ditetapkan oleh sidang permusyawaratan itu. (Suhartono, Artono,
Wartoyo:2010:127).
Usul yang
menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin
meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat
kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal
menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu
ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan
bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan
perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda.
Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Pulau Jawa dijadikan satu propinsi,
sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah
yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2. Sifat dualisme dalam pemerintahan
daerah dihapus
3.
Gubernur
Jendral diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.
Direktur
Departemen mempunyai tanggung jawab
5.
Volksraad
dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.
Raad
Van Indie ( Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice
President diangkat oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad
sebagai anggota mempunyai hak suara
7.
Dibentuknya
dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan
Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan
satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur
atau salah seorang dari ketua parlemen
8.
Penduduk
Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya
adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini
diadakan seleksi yang ketat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
·
REAKSI-REAKSI TERHADAP PETISI SUTARJO
Usul yang
dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi,
baik dari pihak Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers Belanda
menuduh petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum
waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam
maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang
lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirya
tanpa pemilihan suara dalam sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk
dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari
perdebatan yang dilakukan didalam sidang Volksraad, disamping kelompok pengusul
sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda,
bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. (Hasan
Group:2011:Petisi Sutarjo).
1. Kelompok Van Helsdingen,
Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil : Christelijke Staatspartij,
Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij dan beberapa
anggota organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia
belum mampu untuk berdiri sendiri.
2.
Kelompok
Sukardjo Wirjopranoto yang terdiri dari beberapa anggota fraksi nasional, yang
dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo
berpendapat petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia
merdeka.
3.
Kelompok
Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil fraksi Nasional PEB, IEV dan beberapa
nasionalis lainnya. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan
sudah sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada
Indonesia.
Pada
tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan diadakanlah pemungutan
suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara
setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang
telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu,Staten-Generaal dan
Menteri Koloni di negeri Belanda.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Sementara
menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk
memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937
Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia
berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing
untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam
sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah
perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka
penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten
General. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Petisi
ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan
rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi),
Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI),
Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya. Masing-masing
organisasi tersebut ada yang menyetujui usul tersebut dan adapula yang tidak.
Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara
samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jenderal
kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad
van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken. Directeur van
Onderwijs en Eredientst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan
alasan isi kurang terang. Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian
di masa yang akan datang ini, maka tidak dapat disetujui keinginan untuk
mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang.(Hasan
Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirnya
ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus di tolak sehingga perubahan
prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu
diadakan. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November
1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda.
Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum
matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri". Surat
keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 November 1938.
(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Penolakan
yang diambil tanpa keputusan sidang Staten General itu sangat
mengecewakan para pemimpin pergerakan rakyat Indonesia. Sutardjo sebagai
pencetus ide petisi menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap petisi
telah memperlihatkan sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda, disamping
mendemontrasikan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam
pemerintahan. Ia memperlihatkan pemerintah Belanda, bahwa sikap yang diambil
terhadap petisi adalah keliru. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Central
Comite
Petisi Soetadjo kemudian mengeluarkan suatu surat terbuka yang ditujukan kepada
pengurus besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa
Indonesia, isinya disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi, juga
mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan petisi
tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta tanggal 27-29 Mei 1939.
Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan
karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan Nationale
Concentatie yang kemudian setelah terbentuk bernama Gabungan Politik
Indonesia (GAPI). Sehingga Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk
memperjuangkan petisi selesai sudah. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
- GAPI (Gabungan Politik Indonesia)
· BERDIRINYA GAPI
Perkembangan dari Gerakan Nasional
setelah gagalnya Petisi Sutarjo adalah dibentuknya GAPI yang merupakan
organisasi hasil kerjasama dari partai-partai politik dan organisasi-organisasi
yang ada di Indonesia. Sebenarnya Central Comite Petisi Sutarjo, setelah
terjadi penolakan terhadap Petisi Sutarjo oleh Kerajaan Belanda pada 16
November 1938, ingin membuat suatu konferensi yang ditujukan kepada Pengurus
Besar partai politik dan organisasi di Indonesia yang isinya menyesali
cara-cara penolakan atas Petisi Sutarjo dan mengajak seluruh partai-partai
untuk menentukan sikap atas penolakan dari Petisi Sutarjo. Sejatinya konferensi
itu akan diadakan di Jakarta pada 27-29 Mei 1939, tapi akhirnya gagal karena
beberapa partai politik sudah berencana melakukan hal serupa, yaitu sebuah
Nationale Concrentratie yang kemudian dikenal dengan nama Gabungan Politik
Indonesia atau GAPI.
GAPI sendiri berdiri pada 21 Mei
1939 dalam suatu rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta.
Ada beberapa alasan mengapa dibentuknya GAPI, yaitu kegagalan dari Petisi
Sutarjo, adanya masalah internasinal dengan munculnya Fasisme khususnya di
Jerman, dan sikap dari pemerintah kolonial yang kurang memperhatikan rakyat
Indonesia. Pembentukan federasi pada mulanya diusulkan oleh PSII pada bulan
April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai Politik Indonesia
(Bapepi). Oleh karena pembentukannya kurang lancar, Parindra mengambil
inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi Nasional. Parindra berpendapat
bahwa perjuangan konsentrasi nasional haruslah memenuhi dua hal. Pertama
bersifat ke dalam, yaitu dapat menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk
memperoleh suatu pemerintah sendiri. Kedua bersifat ke luar, yaitu dapat
menggugah pemerintah Belanda untuk menyadarkan cita-cita bangsa Indonesia dan
kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam pemerintahan di Indonesia.
Kemudian diadakanlah pendekatan dan perundingan dengan PSII, Gerindo, PII,
Pasundan, Persatuan Minagkabau, Partai Katolik. Hasil dari pendekatan dan
perundingan itu adalah terbentuknya GAPI.
Dalam rapat itu juga ditegaskan
anggaran dasar dalam GAPI sehingga nantinya tidak timbul kekacauan. Anggaran
dasar yang penting adalah ditegaskan bahwa masing-masing partai yang tergabung
dalam GAPI tetap punya kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya, dan
bilamana timbul perselisihan antara partai-partai maka GAPI akan jadi
penengahnya. Dalam anggaran dasarnya juga dijelaskan dasar-dasar dari GAPI,
yaitu hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan dari seluruh bangsa
Indonesia yang berdasarkan pada kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan
sosial; dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Sementara itu, GAPI
dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syariffudin, dan Abikusno
Tjokrosuyoso.
·
AKSI
GAPI
GAPI pertama kali mengadakan
konferensi pada 4 Juli 1939, dimana isinya membicarakan aksi GAPI yang
bersemboyan “Indonesia Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini bertujuan membentuk
suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Untuk mencapai
tujuan dari aksi tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi Eropa pada saat
itu, maka pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal
sebagai Manifest GAPI. Isi dari pernyataan itu adalah mengajak rakyat Indonesia
dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme, dimana kerjasama itu
akan lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan
pemerintahan. Cara dari kerjasama itu adalah membentuk suatu pemerintahan
dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut
bertanggung jawab kepada parlemen.
Untuk mendukung aksinya dan mendapat
dukungan, GAPI mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan rapat-rapat umum
yang puncaknya terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana tidak kurang 100
tempat di Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Aksi dari
GAPI ini mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka memberitakan secara
panjang lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi
bahaya Fasisme.
GAPI juga membentuk Kongres Rakyat
Indonesia atau KRI dan selanjutnya Comite Parlemen Inonesia. KRI diresmikan
pada 25 Desember 1939 di Jakarta dalam Kongres Rakyat Indonesia pertama. Tujuan
dari KRI adalah Indonesia Raya yang bertemakan untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran pertamanya adalah
Indonesia berparlemen penuh. KRI juga menghasilkan beberapa keputusan penting,
yaitu penetapan Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan
lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat. Comite Parlemen Indonesia sendiri dibentuk dengan
maksud untuk lebih meningkatkan aksi-aksi GAPI, dimana panitia-panitia di
daerah dianjrkan mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat tertutup untuk
meyakinkan rakyat akan kewajibannya bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa.
·
RESPON
DARI PEMERINTAH BELANDA PADA GAPI
Tuntutan dari GAPI sendiri mendapat
respon dari pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI sendiri sempat dibicarakan dalam
Tweede Kamer, yaitu pembahasan anggaran belanja Hindia, pada 26 Februari sampai
6 Maret 1940 dan hanya mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders
Partij (SDAP) serta penolakan dari partai-partai lain. Pers di Belanda juga
umumnya menolak dengan alsan belum waktunya. Hal yang baik adalah partai-partai
dan pers di Belanda berpendapat bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan di
dalam pemerintahan di Indonesia mengngat keadaan Internasional yang memburuk.
Pada bulan Agustus 1940, ketika
negeri Belanda telah dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam
keadaan darurat perang. GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut
diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum
tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isi resolusi yaitu
mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh
rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden)
menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Resolusi ini
dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan kabinet
Belanda di London.
Menghadapi tuntutan itu, atas
persetujuan pemerintah dibentuklah Commisie tot bestudeering van
staatsrechtelijke hervorminogen atau komisi untuk menyelidiki dan mempelajari
perubahan-perubahan ketatanegaraan. Komisi yang dikenal sebagai Komisi Visman
ini dibentuk pada 14 September 1940. Komisi ini sendiri bertugas untuk
mengumpulkan bahan-bahan apa yang menjadi keinginan dari Indonesia.
·
REAKSI DIBALIK GAPI DAN AKHIR GAPI
Pembentukan Komisi Visman ini
sendiri tidak begitu disetujui oleh kaum pergerakan. Mereka melihat pengalaman
pada tahun 1918, dimana pernah dibentuk komisi serupa yang tidak menghasilkan
apa-apa bagi rakyat Indonesia. GAPI sendiri mengumumkan bahwa anggota-anggota
GAPI untuk tidak dibenarkan memberikan pendapat sendiri-sendiri kepada Komisi
Visman. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidaksatuan pendapat dalam
menghadapi Komisi Visman. Belakangan, sikap GAPI melunak setelah mendapat
undangan resmi dari Komisi Visman. Sementara, beberapa anggota Volksraad
mengajukan mosi yang lebih ringan, yaitu mengadakan kerjasama antara pemimpin
Indonesia dan Belanda.
GAPI berusaha agar tuntutannya
didengar. Wakil-wakil GAPI dan Komisi Visman sempat mengadakan pertemuan di
gedung Raad van Indie pada 14 Februari 1941. Tujuan awal dari pertemuan itu
awalnya adalah menyampaikan tuntutan GAPI, tapi ternyata pertemuan ini tiedak
menghasilkan sesuatupun, malah pertemuannya sendiri yang ramai dibicarakan
kalangan pergerakan sehingga muncul anggapan GAPI tidak lagi radikal. Keinginan
GAPI agar tuntutannya didengar sempat mendapat harapan saat menteri jajahan
Welter dan van Kleffens datang berkunjung ke Indonesia pada April 1941.
Kunjungan itu berubah menjadi sebuah kekecewaan karena Welter tidak memberikan
solusi ke arah perubahan ketatanegaraan.
Harapan bagi GAPI benar-benar hilang
saat Ratu Wilhelmina mengadakan pidato di London dan pidato dari Gubernur Jenderal
di Volksraad mengenai masa depan Indonesia. Situasi internasional yang memburuk
akibat Perang Dunia II juga membuat pemerintah kolonial memperketat izin
mengadakan rapat-rapat. Setelah itu rakyat Indonesia diberikan peraturan wajib
bela atau inheemse militie.
Kesimpulan
Ø Pengertian Petisi Sutarjo
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada pemerintah. Petisi
Sutardjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo.
Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten
Generaal (parlemen) Belanda.(Suhartono, Artono, Wartoyo : 2010 : 127)
Selama menjadi anggota Volksraad,
selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian tulisan ini,
Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan
rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk
memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat
desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di
Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat
dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan
tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3. Mosi berupa tuntutan mengubah
sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4. Mosi membuat peraturan milisi bagi
penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa
Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5. Mosi berupa permohonan untuk
memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare
vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht)
mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga berperan
aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa
Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen,
pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan
Petisi Soetardjo.
Ø Latar belakang dan isi petisi sutarjo
Sutarjo mengajukan usul kepada
pemerintah Hindia-Belanda agar diadakan konferensi Kerajaan Belanda yang
membahas status politik yang berupa otonomi meskipun masih ada dalam batas
pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai
kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang
mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa
petisi ini bersifat moderat dan koperatif melalui cara-cara yang sah dalam
Dewan Rakyat. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Isi petisi itu ialah permohonan
supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri
Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama. Tujuannya adalah
untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia
suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar
Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam
waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang
permusyawaratan itu. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Usul yang
menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin
meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat
kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal
menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu
ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan
bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan
perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda.
Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Pulau Jawa dijadikan satu propinsi,
sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah
yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2. Sifat dualisme dalam pemerintahan
daerah dihapus
3.
Gubernur
Jendral diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.
Direktur
Departemen mempunyai tanggung jawab
5.
Volksraad
dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.
Raad
Van Indie ( Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice
President diangkat oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad
sebagai anggota mempunyai hak suara
7.
Dibentuknya
dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan
Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan
satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur
atau salah seorang dari ketua parlemen
8.
Penduduk
Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya
adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini
diadakan seleksi yang ketat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Ø Reaksi-reaksi terhadap Petisi Sutarjo
Usul yang dianggap menyimpang dari
cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak
Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers Belanda menuduh petisi
sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum waktunya, dan tidak
sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar
Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota
Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak
mempunyai kekuatan. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirya tanpa pemilihan suara dalam
sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus
yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan didalam
sidang Volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok
yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam tiap kelompok itu
sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo)
.
Ø Berdirinya GAPI
GAPI
berdiri pada 21 Mei 1939 dalam suatu rapat pendirian konsentrasi nasional yang
diadakan di Jakarta. Ada beberapa alasan mengapa dibentuknya GAPI, yaitu
kegagalan dari Petisi Sutarjo, adanya masalah internasinal dengan munculnya
Fasisme khususnya di Jerman, dan sikap dari pemerintah kolonial yang kurang
memperhatikan rakyat Indonesia.
Ø Aksi GAPI
GAPI
pertama kali mengadakan konferensi pada 4 Juli 1939, dimana isinya membicarakan
aksi GAPI yang bersemboyan “Indonesia Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini
bertujuan membentuk suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi.
Untuk mencapai tujuan dari aksi tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi
Eropa pada saat itu, maka pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan
yang dikenal sebagai Manifest GAPI. Isi dari pernyataan itu adalah mengajak
rakyat Indonesia dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme,
dimana kerjasama itu akan lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberikan
hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Cara dari kerjasama itu adalah membentuk
suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana
pemerintahan tersebut bertanggung jawab kepada parlemen.
GAPI
mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan rapat-rapat umum yang puncaknya
terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana tidak kurang 100 tempat di
Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Aksi dari GAPI ini
mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka memberitakan secara panjang
lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya
Fasisme.
GAPI juga
membentuk Kongres Rakyat Indonesia atau KRI dan selanjutnya Comite Parlemen
Inonesia. KRI diresmikan pada 25 Desember 1939 di Jakarta dalam Kongres Rakyat
Indonesia pertama. Tujuan dari KRI adalah Indonesia Raya yang bertemakan untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran
pertamanya adalah Indonesia berparlemen penuh.
Ø Respon pemerintah Belanda terhadap GAPI
Tuntutan
dari GAPI sendiri mendapat respon dari pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI
sendiri sempat dibicarakan dalam Tweede Kamer, yaitu pembahasan anggaran
belanja Hindia, pada 26 Februari sampai 6 Maret 1940 dan hanya mendapat
dukungan dari Social Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) serta penolakan dari
partai-partai lain. Pers di Belanda juga umumnya menolak dengan alsan belum
waktunya. Hal yang baik adalah partai-partai dan pers di Belanda berpendapat
bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan di dalam pemerintahan di Indonesia
mengngat keadaan Internasional yang memburuk.
Daftar
Pustaka