Rabu, 22 Februari 2017

MAKALAH PETISINSUTARJO & GAPI




Petisi Sutarjo dan GAPI



Nama Kelompok:



Ø Muhammad Rafi Ananda

Ø Nadya Fadhillah
Ø Qisthi Annisa M.B
Kelas                   : XI IPS 4
Mata Pelajaran    : Sejarah Peminatan




Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Bogor
Jl. Kayumanis No. 30 Cirimekar Kode Pos 16917
Cibinong, Kab. Bogor
 


Kata pengantar 

Assalamualaikum wr.wb.
            Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Paper yang berjudul “Petisi Sutarjo dan GAPI” ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan paper ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan paper ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga paper ini memberikan manfaat bagi Kami maupun bagi para pembaca. Kurang lebihnya mohon maaf.
Wassalamualaikum wr.wb.


Penyusun
Cibinong, Maret 2017




PEMBAHASAN


  •  PETISI SUTARJO


·       PENGERTIAN PETISI SUTARJO

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada pemerintah, yang di maksudkan disini adalah Presiden, Raja atau Ratu dan sebagainya. Sebagai contoh dari sebuah petisi adalah mahasiswa mengajukan petisi menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari jabatannya. (www.KamusBahasaIndonesia.org)
Petisi Sutardjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten Generaal (parlemen) Belanda.(Suhartono, Artono, Wartoyo : 2010 : 127)
Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah putra seorang Assistant-Wedono di onder-distrik Kunduran, Ngawi, yaitu Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo, adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten. Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri. Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku tentang desa. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka). Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah ( kleinambtenaarsexamen ) pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan. Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka).
Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Residen Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono. Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda. Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka).
Saat menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi. Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka).
Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PBB, ia ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuur academi. Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo Bank melalui kongres PPBB. Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Selama menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1.      Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2.      Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3.      Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4.      Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5.      Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan Petisi Soetardjo. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu). Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo. (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi.Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). (Saminta Somya : Biografi Soetardjo Kartohadikusumo: 24 Maret 2014 : Merdeka)
Gabungan Politik Indonesia disingkat GAPI, merupakan federasi perkumpulan politik Indonesia untuk menyatukan seluruh kekuatan nasional. Terbentuk di Jakarta pada tanggal 21 Mei 1939 atas inisiatif Parindra untuk melahirkan sebuah Nationale Concentratie dalam rapat pengurus besarnya 18-19 Maret 1939. Dalam anggaran dasarnya, GAPI secara umum menjunjung persatuan nasional namun tidak akan ikut campur dalam partai anggotanya.(Ensiklopedia:2011).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris umum, sekretaris pembantu dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki oleh Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, Amir Sjarifudin dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu, dan Ahmad Husni Thamrin dari Parindra sebagai bendahara. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Partai Islam Indonesia, PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia), Persatuan Minahasa dan Pasundan. Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi, sosial serta kesatuan aksi. Sedangkan tujuannya mengadakan kerjasama dan mempersatukan semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia.(Ensiklopedia:2011).

·        LATAR BELAKANG PETISI SUTARJO DAN ISI PETISI SUTARJO

Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan non-koperatif jelas tidak mendapat jalan, sedang gerakan koperatif pun harus dibawah persetujuan pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda. Karena itu rupanya masih ada jalan untuk meneruskan perjuangan lewat Dewan Rakyat. Partai-partai politik masih ada kesempatan untuk melakukan aksi bersama sehingga muncullah dengan apa yang disebutkan Petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia-Belanda agar diadakan konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status politik yang berupa otonomi meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan koperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Landasan usul adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao, yang menurut pendapat Sutardjo keempat wilayah itu didalam kerajaan Nederland mempunyai derajat sama. Usul tersebut didukung oleh Ratu Langie, Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko Kwat Tiong. Dukungan ini menurut Sutardjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Adapun isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawaratan itu. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Usul yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.     Pulau Jawa dijadikan satu propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2.     Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah dihapus
3.      Gubernur Jendral diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.      Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
5.      Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.      Raad Van Indie ( Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
7.      Dibentuknya dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen
8.      Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini diadakan seleksi yang ketat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).




·        REAKSI-REAKSI TERHADAP PETISI SUTARJO

Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers Belanda menuduh petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirya tanpa pemilihan suara dalam sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan didalam sidang Volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
1.     Kelompok Van Helsdingen, Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil : Christelijke Staatspartij, Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij dan beberapa anggota organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia belum mampu untuk berdiri sendiri.
2.      Kelompok Sukardjo Wirjopranoto yang terdiri dari beberapa anggota fraksi nasional, yang dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo berpendapat petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia merdeka.
3.      Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil fraksi Nasional PEB, IEV dan beberapa nasionalis lainnya. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia.
Pada tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu,Staten-Generaal dan Menteri Koloni di negeri Belanda.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri". Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.  Masing-masing organisasi tersebut ada yang menyetujui usul tersebut dan adapula yang tidak. Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken. Directeur van Onderwijs en Eredientst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang terang. Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak dapat disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang.(Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus di tolak sehingga perubahan prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan. Akhirnya dengan keputusan kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia Belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri". Surat keputusan itu disampaikan pada sidang Volksraad tanggal 29 November 1938. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Penolakan yang diambil tanpa keputusan sidang Staten General itu sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan rakyat Indonesia. Sutardjo sebagai pencetus ide petisi menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan terhadap petisi telah memperlihatkan sikap sombong dan ceroboh pemerintah Belanda, disamping mendemontrasikan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Ia memperlihatkan pemerintah Belanda, bahwa sikap yang diambil terhadap petisi adalah keliru. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Central Comite Petisi Soetadjo kemudian mengeluarkan suatu surat terbuka yang ditujukan kepada pengurus besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa Indonesia, isinya disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi, juga mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan petisi tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta tanggal 27-29 Mei 1939. Maksud CCPS untuk mengadakan suatu konferensi akhirnya tidak dapat dilaksanakan karena pada waktu itu beberapa partai politik bermaksud akan mengadakan Nationale Concentatie yang kemudian setelah terbentuk bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Sehingga Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan petisi selesai sudah. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).


  •  GAPI (Gabungan Politik Indonesia)


·       BERDIRINYA GAPI

Perkembangan dari Gerakan Nasional setelah gagalnya Petisi Sutarjo adalah dibentuknya GAPI yang merupakan organisasi hasil kerjasama dari partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Sebenarnya Central Comite Petisi Sutarjo, setelah terjadi penolakan terhadap Petisi Sutarjo oleh Kerajaan Belanda pada 16 November 1938, ingin membuat suatu konferensi yang ditujukan kepada Pengurus Besar partai politik dan organisasi di Indonesia yang isinya menyesali cara-cara penolakan atas Petisi Sutarjo dan mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan dari Petisi Sutarjo. Sejatinya konferensi itu akan diadakan di Jakarta pada 27-29 Mei 1939, tapi akhirnya gagal karena beberapa partai politik sudah berencana melakukan hal serupa, yaitu sebuah Nationale Concrentratie yang kemudian dikenal dengan nama Gabungan Politik Indonesia atau GAPI.
GAPI sendiri berdiri pada 21 Mei 1939 dalam suatu rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Ada beberapa alasan mengapa dibentuknya GAPI, yaitu kegagalan dari Petisi Sutarjo, adanya masalah internasinal dengan munculnya Fasisme khususnya di Jerman, dan sikap dari pemerintah kolonial yang kurang memperhatikan rakyat Indonesia. Pembentukan federasi pada mulanya diusulkan oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai Politik Indonesia (Bapepi). Oleh karena pembentukannya kurang lancar, Parindra mengambil inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi Nasional. Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional haruslah memenuhi dua hal. Pertama bersifat ke dalam, yaitu dapat menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah sendiri. Kedua bersifat ke luar, yaitu dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadarkan cita-cita bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam pemerintahan di Indonesia. Kemudian diadakanlah pendekatan dan perundingan dengan PSII, Gerindo, PII, Pasundan, Persatuan Minagkabau, Partai Katolik. Hasil dari pendekatan dan perundingan itu adalah terbentuknya GAPI.
Dalam rapat itu juga ditegaskan anggaran dasar dalam GAPI sehingga nantinya tidak timbul kekacauan. Anggaran dasar yang penting adalah ditegaskan bahwa masing-masing partai yang tergabung dalam GAPI tetap punya kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya, dan bilamana timbul perselisihan antara partai-partai maka GAPI akan jadi penengahnya. Dalam anggaran dasarnya juga dijelaskan dasar-dasar dari GAPI, yaitu hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan dari seluruh bangsa Indonesia yang berdasarkan pada kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan sosial; dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Sementara itu, GAPI dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syariffudin, dan Abikusno Tjokrosuyoso.

·        AKSI GAPI

GAPI pertama kali mengadakan konferensi pada 4 Juli 1939, dimana isinya membicarakan aksi GAPI yang bersemboyan “Indonesia Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini bertujuan membentuk suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Untuk mencapai tujuan dari aksi tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi Eropa pada saat itu, maka pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Manifest GAPI. Isi dari pernyataan itu adalah mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme, dimana kerjasama itu akan lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Cara dari kerjasama itu adalah membentuk suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut bertanggung jawab kepada parlemen.
Untuk mendukung aksinya dan mendapat dukungan, GAPI mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan rapat-rapat umum yang puncaknya terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Aksi dari GAPI ini mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka memberitakan secara panjang lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya Fasisme.
GAPI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia atau KRI dan selanjutnya Comite Parlemen Inonesia. KRI diresmikan pada 25 Desember 1939 di Jakarta dalam Kongres Rakyat Indonesia pertama. Tujuan dari KRI adalah Indonesia Raya yang bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran pertamanya adalah Indonesia berparlemen penuh. KRI juga menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu penetapan Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Comite Parlemen Indonesia sendiri dibentuk dengan maksud untuk lebih meningkatkan aksi-aksi GAPI, dimana panitia-panitia di daerah dianjrkan mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat tertutup untuk meyakinkan rakyat akan kewajibannya bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa.

·         RESPON DARI PEMERINTAH BELANDA PADA GAPI

Tuntutan dari GAPI sendiri mendapat respon dari pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI sendiri sempat dibicarakan dalam Tweede Kamer, yaitu pembahasan anggaran belanja Hindia, pada 26 Februari sampai 6 Maret 1940 dan hanya mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) serta penolakan dari partai-partai lain. Pers di Belanda juga umumnya menolak dengan alsan belum waktunya. Hal yang baik adalah partai-partai dan pers di Belanda berpendapat bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan di dalam pemerintahan di Indonesia mengngat keadaan Internasional yang memburuk.
Pada bulan Agustus 1940, ketika negeri Belanda telah dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isi resolusi yaitu mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Resolusi ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan kabinet Belanda di London.
Menghadapi tuntutan itu, atas persetujuan pemerintah dibentuklah Commisie tot bestudeering van staatsrechtelijke hervorminogen atau komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan. Komisi yang dikenal sebagai Komisi Visman ini dibentuk pada 14 September 1940. Komisi ini sendiri bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan apa yang menjadi keinginan dari Indonesia.




·         REAKSI DIBALIK GAPI DAN AKHIR GAPI

Pembentukan Komisi Visman ini sendiri tidak begitu disetujui oleh kaum pergerakan. Mereka melihat pengalaman pada tahun 1918, dimana pernah dibentuk komisi serupa yang tidak menghasilkan apa-apa bagi rakyat Indonesia. GAPI sendiri mengumumkan bahwa anggota-anggota GAPI untuk tidak dibenarkan memberikan pendapat sendiri-sendiri kepada Komisi Visman. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidaksatuan pendapat dalam menghadapi Komisi Visman. Belakangan, sikap GAPI melunak setelah mendapat undangan resmi dari Komisi Visman. Sementara, beberapa anggota Volksraad mengajukan mosi yang lebih ringan, yaitu mengadakan kerjasama antara pemimpin Indonesia dan Belanda.
GAPI berusaha agar tuntutannya didengar. Wakil-wakil GAPI dan Komisi Visman sempat mengadakan pertemuan di gedung Raad van Indie pada 14 Februari 1941. Tujuan awal dari pertemuan itu awalnya adalah menyampaikan tuntutan GAPI, tapi ternyata pertemuan ini tiedak menghasilkan sesuatupun, malah pertemuannya sendiri yang ramai dibicarakan kalangan pergerakan sehingga muncul anggapan GAPI tidak lagi radikal. Keinginan GAPI agar tuntutannya didengar sempat mendapat harapan saat menteri jajahan Welter dan van Kleffens datang berkunjung ke Indonesia pada April 1941. Kunjungan itu berubah menjadi sebuah kekecewaan karena Welter tidak memberikan solusi ke arah perubahan ketatanegaraan.
Harapan bagi GAPI benar-benar hilang saat Ratu Wilhelmina mengadakan pidato di London dan pidato dari Gubernur Jenderal di Volksraad mengenai masa depan Indonesia. Situasi internasional yang memburuk akibat Perang Dunia II juga membuat pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat. Setelah itu rakyat Indonesia diberikan peraturan wajib bela atau inheemse militie.


Kesimpulan
Ø  Pengertian Petisi Sutarjo
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petisi adalah permohonan resmi kepada pemerintah. Petisi Sutardjo adalah petisi yang dikeluarkan oleh Soetardjo Karthohadikoesoemo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelminaserta serta Staten Generaal (parlemen) Belanda.(Suhartono, Artono, Wartoyo : 2010 : 127)
Selama menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1.      Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta Gulden.
2.      Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas kemiskinan.
3.      Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4.      Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota militer.
5.      Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht) mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan Petisi Soetardjo.

Ø  Latar belakang dan isi petisi sutarjo
Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia-Belanda agar diadakan konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status politik yang berupa otonomi meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerjasama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan koperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Isi petisi itu ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dimana anggota-anggotanya memiliki hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawaratan itu. (Suhartono, Artono, Wartoyo:2010:127).
Usul yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena makin meningkatnya perasaan tidak puas dikalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal menurut Sutardjo, hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda perlu ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak lebih-lebih adanya bayangan bahaya pecahnya perang di Pasifik. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.     Pulau Jawa dijadikan satu propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
2.     Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah dihapus
3.      Gubernur Jendral diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4.      Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
5.      Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6.      Raad Van Indie ( Dewan Hindia ) adalah anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh Raja, disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
7.      Dibentuknya dewan kerajaan Rijksraad sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang menteri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen
8.      Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan disini diadakan seleksi yang ketat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).

Ø  Reaksi-reaksi terhadap Petisi Sutarjo
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun bukan dari pihak Indonesia. Pers Belanda menuduh petisi sebagai suatu permainan yang berbahaya, revolusioner belum waktunya, dan tidak sesuai dengan keadaan. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo).
Akhirya tanpa pemilihan suara dalam sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan didalam sidang Volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. (Hasan Group:2011:Petisi Sutarjo)
.
Ø  Berdirinya GAPI
GAPI berdiri pada 21 Mei 1939 dalam suatu rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Ada beberapa alasan mengapa dibentuknya GAPI, yaitu kegagalan dari Petisi Sutarjo, adanya masalah internasinal dengan munculnya Fasisme khususnya di Jerman, dan sikap dari pemerintah kolonial yang kurang memperhatikan rakyat Indonesia.



Ø  Aksi GAPI
GAPI pertama kali mengadakan konferensi pada 4 Juli 1939, dimana isinya membicarakan aksi GAPI yang bersemboyan “Indonesia Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini bertujuan membentuk suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Untuk mencapai tujuan dari aksi tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi Eropa pada saat itu, maka pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Manifest GAPI. Isi dari pernyataan itu adalah mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme, dimana kerjasama itu akan lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Cara dari kerjasama itu adalah membentuk suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut bertanggung jawab kepada parlemen.
GAPI mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan rapat-rapat umum yang puncaknya terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Aksi dari GAPI ini mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka memberitakan secara panjang lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya Fasisme.
GAPI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia atau KRI dan selanjutnya Comite Parlemen Inonesia. KRI diresmikan pada 25 Desember 1939 di Jakarta dalam Kongres Rakyat Indonesia pertama. Tujuan dari KRI adalah Indonesia Raya yang bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran pertamanya adalah Indonesia berparlemen penuh.

Ø  Respon pemerintah Belanda terhadap GAPI
Tuntutan dari GAPI sendiri mendapat respon dari pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI sendiri sempat dibicarakan dalam Tweede Kamer, yaitu pembahasan anggaran belanja Hindia, pada 26 Februari sampai 6 Maret 1940 dan hanya mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) serta penolakan dari partai-partai lain. Pers di Belanda juga umumnya menolak dengan alsan belum waktunya. Hal yang baik adalah partai-partai dan pers di Belanda berpendapat bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan di dalam pemerintahan di Indonesia mengngat keadaan Internasional yang memburuk.





Daftar Pustaka

http://vivahistoria121.blogspot.co.id/2014/09/makalah-sejarah-pergerakan-indonesia.html